Tugu Reog di Tengah Ujian: Antara Integritas, Pembangunan, dan Citra Kota Reog
Ponorogo, TanahAir.News- Tugu Reog yang berdiri di jantung Kota Ponorogo sejatinya bukan sekadar monumen beton dan baja. Ia adalah simbol kebanggaan, representasi jiwa masyarakat Reyog, serta lambang harapan menuju Ponorogo yang lebih berkarakter dan berdaya saing. Namun, di tengah perjalanan pembangunan yang sempat menggugah optimisme publik, kabar penahanan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko akibat dugaan korupsi menjadi ujian berat bagi proyek simbolik ini — sekaligus bagi citra daerah yang tengah menata diri sebagai Kota Kreatif Dunia.
Ketika Simbol Kebanggaan Terseret Bayang Kasus
Pembangunan Tugu Reog diharapkan menjadi ikon baru Ponorogo yang mampu memperkuat identitas budaya sekaligus mendongkrak sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Namun dengan munculnya dugaan penyimpangan anggaran dan proses hukum yang melibatkan kepala daerah, publik pun dihadapkan pada pertanyaan: apakah semangat pembangunan masih sejalan dengan semangat kejujuran dan akuntabilitas?
Bukan Tugu Reog yang salah, tetapi cara kita mengelolanya. Sebab, monumen megah tak akan bermakna jika fondasinya goyah oleh praktik-praktik yang mencederai kepercayaan publik.
Ujian Moral dan Kepercayaan Publik
Penahanan Bupati Sugiri Sancoko menjadi momentum refleksi — bahwa pembangunan fisik tanpa integritas justru dapat menjadi beban moral bagi daerah. Di satu sisi, masyarakat tetap menghargai jasa dan ide-ide besar yang pernah dirintis; namun di sisi lain, publik berhak menuntut transparansi dan tanggung jawab dalam pengelolaan dana publik.
Kini, pemerintah daerah ditantang untuk memastikan bahwa proyek Tugu Reog tidak berhenti di tengah jalan atau menjadi simbol setengah jadi yang menyimpan luka kolektif. Transparansi, audit terbuka, dan komunikasi publik harus menjadi langkah awal untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Peran Plt. Bupati Lidyarita: Menjaga Asa di Tengah Krisis
Dalam situasi seperti ini, peran Plt. Bupati Lidyarita menjadi sangat penting. Di tengah badai isu dan kekecewaan publik, Lidyarita tampil sebagai figur yang menenangkan. Ia tidak hanya dituntut melanjutkan roda pemerintahan, tetapi juga memulihkan moral aparatur dan menegakkan nilai-nilai integritas.
Salah satu ujian konkretnya adalah bagaimana ia menuntaskan pembangunan Tugu Reog dengan prinsip efisiensi, transparansi, dan kepatuhan terhadap aturan. Bukan untuk sekadar menyelesaikan proyek, melainkan untuk memulihkan makna — bahwa Tugu Reog tetap milik rakyat, bukan simbol kekuasaan.
Menatap Ke Depan: Tugu yang Mendidik, Bukan Sekadar Megah
Tugu Reog seharusnya menjadi pengingat bahwa setiap batu dan ukiran di dalamnya adalah hasil keringat rakyat. Ia harus menjadi tempat belajar tentang budaya, tentang semangat gotong royong, dan tentang pentingnya kejujuran dalam membangun peradaban lokal.
Jika diselesaikan dengan hati bersih dan transparansi publik, Tugu Reog bisa menjadi pelajaran berharga bahwa Ponorogo bukan hanya tempat kelahiran seni besar, tetapi juga tempat di mana moral dan kebudayaan berpadu dalam tindakan nyata.
Ponorogo kini berada di persimpangan: antara reputasi dan harapan, antara warisan dan tanggung jawab. Kasus yang menimpa pimpinan daerah memang mengguncang, tetapi bukan akhir dari segalanya.
Yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah berjalan bersama menjaga cita-cita besar: menjadikan Ponorogo bukan hanya dikenal karena Reog-nya, tetapi juga karena integritas dan semangat warganya dalam membangun negeri. TAN-Rohim


